Jumat, 20 Maret 2015

parade ogoh-ogoh jelang hari raya nyepi

Jelang hari raya nyepi tahun baru saka 1937, ribuan umat hindu se-jabodetabek turut serta dalam ritual taur kesanga dan parade ogoh-ogoh di lapangan monumen nasional  Jakarta, jumat (20/03/15).
Monas kembali dipilih sebagai tempat pagelaran karena posisinya paling merepresentasikan sebuah perempatan agung dalam kepercayaan hindu.
“Kami melaksanakan upacara taur itu di catus pataning dese, yaitu perempatan agung di suatu wilayah, di jakarta perempatan agung yang besar adalah monas, untuk itu kami minta izin kepada pemda , pemda mengizinkan, otoritas monas juga sudah memberikan izin sehingga kami bisa.melaksanakan acara ini disini’ ujar Ida Bagus Yudi Armada, ketua panitia taur agung dan parade ogoh-ogoh Jakarta.
Gelaran parade tahun ini dimeriahkan oleh 12 ogoh-ogoh yang berasal berbagai pura yang ada di wilayah jabodetabek, dan masing-masing mempunyai tema yang beragam. Salah satunya adalah ogoh-ogoh milik Pura Prajapati Purna Pralina Depok yang bernama Sang Hyang Kala dan mempunyai arti sang pemilik waktu.
“Ogoh-ogoh perwujudan dari kebesaran tuhan yang memberikan kewenangan pada Sang Hyang Kala untuk menjaga waktu, dengan itu kita diharapkan untuk selalu ingat akan waktu, menghargai dan menjaganya” sebut Nyoman Agus, pengurus pura Prajapati Purna Pralina Depok.
 Tak hanya ogoh-ogoh, beberapa jenis kesenian lain juga ikut meramaikan barisan peserta parade sererti kesenian tanjidor, marawis, ondel-ondel, drumband, barongsai, dan gunungan.



Sabtu, 21 Februari 2015

Alis Hits! (Spectacular Eyebrow !)

video yang berisi soal tips membuat alis super yang bakal menjadi trend masa kini, dibuat bersama teman-teman yang tergabung di lalatkece.production.. silahkan disimak

Jumat, 13 Februari 2015

Wae Rebo, Negeri Diatas Awan



Nama tempat ini mungkin masih terdengar asing bagi sebagian masyarakat Indonesia, jangankan masyarakat Indonesia, masyarakat yang berada dalam satu wilayah pun terkadang masih menjawab tidak tahu ketika ditanya tentang Wae Rebo. Wae Rebo merupakan sebuah desa terpencil yang berada di wilayah Flores, Nusa tenggara Timur, tepatnya di kecamatan Satarmese Barat Kabupaten Manggarai.
Wae rebo merupakan desa yang sangat unik, karena terletak di antara pegunungan, dan berada diketinggian 1200 meter diatas permukaan laut. Tak mengherankan jika beberapa warga asli Wae Rebo yang menjemput kami  memakai pakaian tebal atau berselempang sarung, karna wilayah tersebut terkenal dengan suhu yang cukup dingin.
Nama Wae rebo sebenarnya cukup kondang untuk para wisatawan, namun yang membuat telinga kita miris, ternyata 80 persen wisatawan yang datang mengunjungi Wae Rebo merupakan wisatawan asing. Para wisatawan asing ini begitu semangat untuk menyaksikan keunikan apa saja yang ada disana,  mulai dari rumah adat kuno, sampai peradaban budaya asli Manggarai yang terus lestari hingga saat ini.

Kita membutuhkan tenaga ekstra untuk bisa mencapai Wae Rebo, wajar saja karena memang letaknya yang jauh diatas gunung.  Untuk masyarakat setempat, mencapai desa dari akses transportasi terakhir memerlukan waktu sekitar 3 jam berjalan kaki dengan jalur yang terus menanjak. Sementara untuk para wisatawan, biasanya butuh waktu lebih lama, sekitar 5-7 jam tergantung ketahan fisik masing-masing.
Namun ditengah-tengah perjalanan yang cukup panjang tersebut, suasananya seakan begitu riang dan akrab. Warga setempat yang ikut membantu untuk mengangkut barang bawaan para wisatawan selalu berceloteh atau sesekali menceritakan cerita-cerita lucu kepada para wisatawan. Rupanya penduduk desa Wae Rebo ini memang terkenal dengan keramahtamahannya, selain itu mereka senang sekali bercerita atau mendengarkan cerita lucu. Disela-sela istirahat dalam perjalanan, salah satu dari penduduk setempat dan wisatawan berceloteh kisah lucu, dan kami semua yang mendengarkan pun tertawa terpingkal-pingkal.
Keakraban yang terjalin selama perjalanan membuat medan yang ditempuh seakan terlupa begitu saja. Tak terasa rombongan sudah sampai di kelokan terakhir menuju Desa Wae Rebo, dari kelokan ini kita bisa melihat betapa cantiknya Wae Rebo. Rumah-rumah Mbaru Niang yang bulat kerucut menjadi pemandangan yang unik nan cantik.


Mbaru Niang dan pembangunan rumah baru
Semakin mendekat menuju pusat desa, kita akan menyadari bahwa tempat ini benar-benar sebuah peninggalan berharga dari para leluhur di tanah Manggarai. Ada  4 Buah rumah adat bernama Mbaru Niang yang begitu menawan, dan  ada juga 3 buah rumah Mbaru Niang lagi yang sedang dibangun oleh warga desa.

Warga Wae Rebo memiliki rumah adat yang sangat unik, berbentuk kerucut, dan memiliki 5 lantai, namun hanya lantai satu yang digunakan untuk kegiatan sehari-hari seperti memasak, tidur, ataupun mengadakan pertemuan-pertemuan dan  upacara adat. Sesuai dengan adat yang berlaku disana, lantai kedua dan seterusnya hanya dipakai untuk menyimpan barang-barang kebutuhan rumah tangga.
Dan yang paling menarik,dari mulai kerangka sampai atap Mbaru Niang sama sekali tak menggunakan paku. Setiap kayu yang menjadi rangka ataupun penyangga rumah direkatkan menggunakan kayu rotan yang berfungsi sebagai tali pengikat.  Rotan menjadi bahan utama untuk merekatkan satu tiang ketiang lainnya. Warga Wae Rebo memang berusaha sebisa mungkin tidak mengubah bentuk, struktur, dan bahan-bahan bangunan yang digunakan untuk membangun Mbaru Niang.

Saat ini warga Wae Rebo sedang bergembira, 4 rumah Mbaru Niang yang tersisa dari jaman leluhur mereka akan ditemani oleh 3 rumah yang baru. Konon menurut para tetinggi Wae Rebo, Leluhur mereka mewarisi 7 buah rumah adat, namun karna perjalanan waktu dan penambahan usia bangunan, 3 buah rumah adat telah runtuh.  Namun kini dengan penuh suka cita, warga Wae Rebo kembali membangun 3 rumah adat Mbaru Niang, mereka mendapatkan sokongan dana untuk membangun rumah tersebut dari salah satu yayasan yang berada di Jakarta.

Hampir seluruh pria dewasa menjadi bagian dari proses pembangunan rumah baru, pekerjaannya pun dibagi kedalam beberapa bagian seperti pekerja untuk pengadaan bahan-bahan bangunan, pekerja pembentuk kerangka, dan pekerja pembuat atap dan pemasangannya. Tak ada sepeserpun upah yang diterima oleh para pekerja yang juga warga Wae Rebo sendiri, secara suka rela mereka ingin membangun kembali kisah 7 buah rumah Mbaru Niang yang diwariskan para leluhurnya.
Ternyata tak hanya kaum pria saja yang menjadi bagian dari pembangunan ini, kaum ibu pun sudah sibuk sejak pagi sekali untuk menyiapkan sarapan, makan siang, dan makan sore untuk semua pekerja.  Dapur dari rumah Niang yang paling besar menjadi wilayah kerja bagi para ibu, dan suasana kerja pun begitu ramai, kadang mereka memasak sambil bercerita, tertawa, menyanyi, dan mungkin juga bergosip.
Anak-anak dan remaja pun tak mau ketinggalan untuk ambil bagian, sebagian ada yang membantu kaum bapak bekerja berat, sebagian lagi ada yang membantu para ibu memasak, dan yang lain bertugas mencari beberapa bahan yang dibutuhkan seperti rotan atau memetik buah-buahan. Namun karna jiwa mereka yang memang masih muda, sebagian besar anak-anak ini bekerja sambil bermain dengan riang.
Pembangunan rumah Mbaru Niang yang baru telah berlangsung 4 bulan, saat ini pembangunannya sudah hampir 50 persen, kerangka setiap rumah sudah mulai terpasang, bahkan satu rumah sudah mulai memasuki tahap pemasangat atap. Pembangunan 3 rumah Mbaru Niang ini secara keseluruhan diperkirakan bisa selesai 3-4 bulan lagi. Mimpi warga Wae Rebo untuk melihat kemegahan tujuh buah rumah Mbaru Niang akan segera terwujud.

Tidak mudah menjadi warga Wae Rebo

Sebagian besar masyarakat Wae Rebo mencari nafkah dengan cara bercocok tanam, tanah sekitar Wae rebo yang subur menjadi berkah tersendiri untuk mereka. Namun, sepertinya adat dan budaya setempat sudah mengajarkan setiap warganya dengan baik, mereka bercocok tanam tanpa harus merusak banyak lahan hutan. Hanya sebagian kecil lahan yang mereka manfaatkan untuk perkebunan.
Letaknya yang tidak dapat diakses menggunakan kendaraan bermotor memang menjadi 2 sisi yang berbeda, disatu sisi itu menjadi kelebihan Wae Rebo, dengan sulitnya kendaraan menuju kesana, desa ini tak mudah terpengaruh oleh budaya-budaya asing yang bisa saja merusak kebudayaan setempat. Namun disisi lainnya, masyarakat setempat cukup kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Untuk kebutuhan pokok seperti beras misalnya, mereka harus mencarinya kedesa-desa tetangga yang letaknya sekitar 15 km. Belum lagi dengan mengangkutnya menuju desa, beban sekitar 5 kg untuk orang dewasa, dan 2-3 kg untuk anak-anak sudah pasti menjadi bawaan wajib masyarakat ketika keluar-masuk desa Wae Rebo.
Masalahnya tidak hanya sampai disitu, setiap minggu sebagian orang tua harus rela berpisah dengan anak-anaknya demi pendidikan. Biasanya pada minggu siang para orang tua ini sibuk menyiapkan kebutuhan anak-anak mereka selama satu minggu. Lalu anak-anak ini akan meninggalkan desa dan baru kembali lagi pada sabtu pagi.
Belum ada sekolah di Desa Wae Rebo, anak-anak harus mengejar cita-cita dengan menumpang sekolah di desa lain, mereka pun harus tinggal di sebuah asrama yang memang dikhususkan bagi penduduk Wae Rebo yang sedang mengenyam bangku pendidikan. Setiap anak, bahkan dari yang masih berusia 6 tahun, sudah dibiasakan hidup mandiri dan berpisah dari orang tuanya setiap minggunya.
Masih banyak kesulitan-kesulitan lain yang dihadapi warga Wae Rebo, sebut saja masalah kesehatan. Untuk mengikuti program imunisasi saja, setiap ibu yang mempunyai balita harus menggendong bayinya turun dan naik bukit, kadang pula mereka kecewa ketika sampai dilokasi, jadwal imunisasi sering kali tidak tetap sehingga mereka harus kembali lagi esok atau dua hari berikutnya.

Namun dari beberapa permasalahan tersebut, tidak menyurutkan niat luhur sebagian besar masyarakat Wae Rebo yang memilih untuk tetap tinggal didesa, dan melestarikan kebudayaan dari para leluhurnya. Pengorbanan warga Wae Rebo dari waktu kewaktu untuk terus mempertahankan tradisi semoga terbayar suatu hari nanti. Mungkin suatu hari nanti Wae Rebo akan menjadi sebuah peninggalan berharga bukan hanya bagi masyarakat setempat dan Indonesia, tapi juga bagi dunia.

NB : Tulisan ini saya buat tahun 2012 lalu, baru hari ini sempat saya publish di blog yang baru saya utak atik juga, maklum sok sibuk, hehe. Sekarang rumah-rumah Mbaru Niang sudah lengkap, ketujuh nya sudah berdiri dengan gagah.. 

Jumat, 06 Februari 2015

Berlabuh Di Miangas

 Tiga hari tiga malam, merupakan waktu yang cukup panjang untuk mengarungi lautan luas dengan tujuan yang tak kunjung nampak. Selama waktu itu juga saya menumpang hidup di KM Sangiang, sebuah kapal milik PELNI yang berukuran cukup besar dan nyaman. KM Sangiang yang saya tumpangi sedang menyusuri lautan Sulawesi Utara yang saat itu cukup tenang, kebetulan saya dengan kapal ini mempunyai tujuan yang sama, yaitu sebuah pulau di batas wilayah Indonesia bagian utara, Pulau Miangas.
            Setelah bersabar melawan bosan, tepat di hari ke tiga perjalanan di siang hari pulau Miangas sudah mulai nampak dari kejauhan. Pulau ini sangat kecil, mungkin terlalu kecil untuk ukuran pulau yang hanya berdiri sendiri tanpa ditemani pulau lain disekitarnya dan berada di antara pertemuan laut sulawesi dengan samudra pasifik.

                                  "Pulau miangas mulai terlihat dari KM Sangiang"

         Tak sabar rasanya untuk menginjakkan kaki di pulau kecil ini, kesabaran saya akhirnya terbayar setelah Miangas begitu jelas nampak di depan mata. Perlahan KM Sangiang mulai bersandar dibibir pelabuhan, untung saja cuaca hari ini mendukung, karena menurut cerita sang kapten, jarang sekali KM Sangiang bisa bersandar di pelabuhan karna cuaca di Miangas sering kali ekstrem yang membuat gelombang air laut menjadi tak ramah. Biasa bila cuaca sedang tak bagus, KM sangiang akan berputar ke belakang Pulau Miangas, dan menurunkan penumpang dilautan, tentu dengan bantuan kapal-kapal kecil milik nelayan sebagai armada lanjutan menuju pulau.

                                 "KM Sangiang di Pelabuhan Pulau Miangas"

         Setelah turun dari kapal saya langsung disambut oleh bapak camat yang bernama Bapak Steven. Ia berkata kalau hari ini saya benar-benar beruntung karna hari ini saya diberkahi cuaca yang sangat baik, karena tepat sehari sebelum saya tiba pulau ini disinggahi angin yang cukup besar sepanjang hari.
         Berbincang sejenak dengan bapak camat, saya memohon izin untuk beristirahat terlebih dahulu. Perjalanan menuju Miangas memang perjalanan yang sangat melelahkan, apalagi saya memulai dari kota Jakarta. Dari Jakarta saya pergi menggunakan pesawat menuju Manado, dan menunggu selama satu hari untuk menunggu jadwal keberangkatan KM Sangiang. Total perjalanan saya dari jakarta menuju miangas adalah empat hari, hmm seandainya ada alternatif kendaraan lain menuju Miangas, mungkin perjalanan tidak akan selama ini. Namun sayang sekali, jalur menuju Miangas memang hanyalah jalur laut.
        Ada dua kapal yang biasa mengantarkan masyarakat keluar masuk pulau Miangas, yang pertama adalah KM Sangiang yang singgah di Miangas satu kali dalam dua minggu, dan yang kedua adalah kapal perintis Meliku Nusa yang berukuran lebih kecil dan singgah satu kali dalam seminggu. Melihat dari kedatangan dan keberangkatan kapal, paling cepat untuk keluar dari Miangas adalah satu minggu sekali, selain dari hari itu tak ada lagi sarana untuk bisa pergi atau masuk pulau Miangas.
    Keadaan yang serba terbatas itu membuat masyarakat Miangas serba kekurangan, mereka biasanya menyimpan stok bahan pokok yang bisa digunakan untuk jangka waktu yang lama. Tak banyak pilihan untuk belanja kebutuhan pokok di pulau ini, semua serba seadanya.
    Status pulau Miangas terbilang cukup lengkap, pulau ini menyandang gelar pulau terdepan, terluar, terisolasi, dan tertinggal. Sebagai bagian dari negara NKRI sebenarnya pulau ini punya peranan yang sangat penting, kalau tidak ada Miangas, batas negara Indonesia dengan Filipina akan lebih dekat dengan pulau Sulawesi.

                                   "Pemandangan sekitar Pulau Miangas dari atas bukit"

   Punya peranan yang cukup penting tidak lantas membuat pulau ini maju sebagai pulau yang sejahtera, fasilitas-fasilitas publik masih tergolong sangat minim, termasuk fasilitas pendidikan dan kesehatan. Ada masing-masing satu buah sekolah untuk tiap tingkatan SD, SMP, dan SMA. Namun kenyataannya di setiap sekolah masih kekurangan tenaga pengajar dan alat-alat penunjang pendidikan seperti buku dan perlengkapan lainnya.
     Tidak jauh berbeda dengan pendidikan, dibidang kesehatan lebih miris lagi, hanya ada satu orang mantri dan satu perawat yang bertugas di pulau ini. Bagi masyarakat miangas yang menderita sakit berat, solusi untuk berobat dan mendapatkan perawatan lebih baik adalah dengan menuju wilayah Davao, Filipina. Alasan mereka lebih memilih untuk menuju negara Filipina memang sangat masuk akal, untuk mengarungi lautan dan menuju Davao masyarakat hanya membutuhkan waktu sekitar tiga jam, sementara untuk sampai wilayah Indonesia yang terdekat butuh waktu sampai 6 jam, itu pun di wilayah dengan kondisi medisnya yang juga kurang memadai.

                                            "Pemandangan laut sekitar Miangas"

    Ketergantungan masyarakat akan negara Filipina nyatanya tidak hanya dari segi kesehatan, banyak hal yang saling terkait antara masyarakat Miangas dan masyarakat Filipina, yang paling menonjol adalah di bidang ekonomi. Untuk aktivitas belanja dan mencari uang, masyarakat miangas lebih cenderung pergi ke Davao untuk menjual barang dan belanja keperluan sehari-hari.
       Banyak diantara masyarakat Miangas yang bahkan bisa berbahasa Filipina, dan mempunyai uang resmi negara Filipina. Menurut pengakuan bapak camat, keterikatan masyarakat Miangas dengan masyarakat Davao atau Filipina sudah terjadi sejak dahulu, bahkan masyarakat Filipina sendiri sudah menganggap Miangas sebagai bagian dari negara mereka.


                                     "Nelayan Miangas melaut dengan kapal kecil"

Potensi Pulau Miangas
     Alam Miangas sebenarnya memberikan potensi yang cukup besar, salah satunya di perikanan. “Ikan di Miangas sangat berlimpah, tapi kami tidak punya sumber daya yang mencukupi untuk mengolah potensi ini”, ujar pak camat. Kebanyakan masyarakat Miangas hanya memiliki kapal-kapal kecil yang biasa menemani mereka mengarungi lautan sekitar yang sangat luas dan terkadang galak. Bandingkan dengan kapal milik nelayan Filipina yang biasa disebut pamboat. Dengan pamboat-nya, nelayan Filipina lebih leluasa menangkap ikan-ikan di wilayah.
       Untungnya sekarang penjagaan di wilayah perbatasan tersebut sudah jauh lebih ketat, pemerintah menempatkan sejumlah pasukan darat dan laut untuk menjaga wilayah Miangas termasuk dari potensi pencurian ikan.

                                   "Pasukan Penjaga perbatasan Pulau Miangas"

        Nelayan Filipina tak begitu saja putus asa melihat potensi ikan yang begitu berlimpah di wilayah Miangas, mereka masih rutin berkunjung, namun sekarang dengan pendekatan yang berbeda. Beberapa nelayan Filipina sengaja datang rutin untuk mengajari nelayan Miangas cara menangkap beberapa jenis ikan yang disukai orang Filipina. Mereka berharap masyarakat Miangas akan lebih mahir menangkap ikan, lalu hasil tangkapannya akan dibeli dan dibawa menuju Filipina.
                                   "Nelayan Miangas memancing ikan diatas pamboat"
   Bersama-sama mereka mempraktekkan cara menangkap ikan dilaut dengan menggunakan pamboat, sekarang sudah ada beberapa pamboat yang dihibahkan untuk masyakat Miangas sebagai sarana nelayan mencari ikan. Sebuah kerja sama yang saling menguntungkan kedua-belah pihak, nelayan Miangas kini mempunyai harapan untuk bisa memulai kehidupan yang lebih baik.

            

Rabu, 04 Februari 2015

Terpaksa Potong Ayam

Sebagai seorang muslim, memang ada beberapa hal yang harus saya perhatikan jika berkunjung ke daerah timur Indonesia, salah satunya soal makanan. Jika kita berkunjung ke daerah pedalaman, biasanya masyarakat setempat begitu ramah, dan langsung menawarkan kita untuk menyantap beberapa hidangan. Masalahnya adalah saya bukan pemakanan sapi kaki pendek, jadi saya harus pintar-pintar memilih atau menolak makanan yang mengandung unsur B.

Tapi banyak juga lho masyarakat yang menghormati kepercayaan saya untuk tidak makan sapi pendek, biasanya mereka tetap ingin menyuguhkan kita daging, salah satu caranya meminta kita untu memotong ayam. Seumur-umur saya belum pernah memotong ayam dengan tangan saya sendiri, baru setelah traveling ke wilayah Sumba Barat saya melakukannya.

Sedang asik mengobrol sambil duduk santai bale-bale depan rumah khas Sumba, tiba2 salah satu warga datang dan mengajak saya pergi ke halaman belakang rumah, saya sama sekali tidak ada pikiran apa-apa saat itu, yang saya lakukan hanya mengikuti perintah dan bergegas menuju halaman belakang rumah.

Betapa kagetnya saya ketika salah satu warga sudah memegang seekor ayam dan warga yang lainnya memberikan saya sebilah pisau tajam, sesaat saya tidak bisa berkata apa-apa, saya hanya spontan langsung menerima pisau yang disodorkan kepada saya.

"Potong ayam mas, biar halal", ucap salah satu bapak saat itu.

Rupanya mereka sengaja meminta saya untuk memotong ayam karna tau saya seorang muslim, masyarakt desa yang kebanyakan nasrani menghormati kepercayaan saya yang harus mengkonsumsi makanan yang disembelih dengan orang dan cara muslim. Wah saya jadi terharu karna masyarakat di desa yang jauh dari kata modern ini begitu menghormati perbedaan kepercayaan, bolehlah sebagai orang kota yang katanya hidup lebih maju kita mencontoh kearifan penduduk yang begitu terjaga sampai sekarang.

Baiklah mari kita kembali lagi pada nasib si ayam

Karna belum pernah menyembelih ayam sebelumnya, saya sempat meminta pada warga untuk tidak usah memotong ayam, biar saya makan sayur saja. Apa daya mereka tetap memaksa dengan alasan ini biasa menyuguhi tamu terhormat, hoalah tiba-tiba saya sedikit melayang karna disebut tamu terhormat. Perasaan bangga sebagai tamu terhormat itu tiba-tiba lenyap saat saya menatap mata dari si ayam mungil tak berdosa ini, ya tuhan sebenarnya saya tidak tega untuk untuk menyembelih ayam yang sebenarnya imut-imut tersebut.

Cukup lama saya beradu pandang dengan si ayam ini, sebut saja dia si petok. Setelah beradu pandang dan melamun yang untungnya bukan lamunan jorok, ternyata saya juga sedang dipandangi oleh dua bapak-bapak yang sedari tadi menunggu saya untuk.menjalankan eksekusi, tatapan mereka seperti tatapan tentara senior yang memerintahkan juniornya untuk menembak mati musuh yang sudah tak bisa melawan lagi seperti di film2 hollywood.

"Ayo mas lekas potong ayamnya" kata salah satu bapak.yang mungkin sudah tidak sabar.

Akhirnya saya menyerah juga, dengan pisau yang sudah ditangan akhirnya tangan saya melaju mendekati si petok. Oh ya pisau yang saya pegang itu kecil, lebih kecil dari pisau ibu2 di dapur yang biasa dipakai untuk potong-potong sayur. Saya sudah tidak mau lagi menatap mata si petik, karna itu bisa membawa saya ke lamunan yang artinya bakal makin dipelototi lah oleh si bapak yang sedari awal sudah standby memegangi si petik, kalau dilihat dari cara duduk dan kakinya yang digerak-gerakkan terus sih, si bapak itu mungkin sudah mulai kesemutan menunggu aksi dari saya, hehe.

Dan akhir penantian bapak pemegang ayam pun segera berakhir, tangan berpisah saya sudah mulai mantap mendekat ke leher si ayam. Sekedar informasi, saya kini hanya menatap lurus, tajam, dan penuh konsentrasi ke leher si petik, karna memang saya tidak berani melihat matanya. Dengan membaca Basmallah tangan saya mulai mengayun.